Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menegaskan, pihaknya tidak ada hubungan dan tidak akan ikut aksi menentang UU Cipta Kerja yang dilaksanakan sejumlah ormas Islam. Muhammadiyah lebih fokus menangani COVID-19 dan dampaknya terhadap pendidikan, ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Menurut Mu’ti, dalam situasi saat ini, semua pihak harus bisa menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan yang melibatkan banyak orang, termasuk demonstrasi.
“Demonstrasi lebih banyak ruginya daripada kebaikan. Islam mengajarkan untuk meninggalkan perbuatan yang mengandung madlarat lebih banyak daripada kebaikan. Dalam hukum Islam, hal yang mendesak (aham) harus didahulukan dari yang penting (muhim),” kata Mu’ti. Selasa (13 Oktober 2020).
Meski demikian, Mu’ti mengatakan pihaknya menghormati masyarakat yang ingin menggelar aksi. Pengungkapan pendapat lisan dan tertulis merupakan hak sipil yang dijamin secara konstitusional baginya. Oleh karena itu, orang yang berdemonstrasi harus mematuhi hukum dan ketertiban serta menghindari kekerasan (vandalisme).
“Aparat keamanan harus memaksimalkan pendekatan persuasif dan humanistik agar tidak terjadi konflik antara masyarakat dengan aparat,” ujarnya.
Di sisi lain, Muhammadiyah akan mengkritisi kebijakan pemerintah yang melanggar hukum dan perundang-undangan, khususnya Islam dan merugikan umat Islam.
Namun, Muhammadiyah tidak akan menggulingkan pemerintahan yang sah. Resikonya terlalu besar bagi masyarakat dan masa depan bangsa, ”ujarnya.
Seperti diberitakan, sejumlah elemen Islam seperti Kelompok 212 dan GNPF Pengawal Ulama akan menggelar aksi unjuk rasa di Istana Presiden hari ini. Para pengunjuk rasa akan melontarkan sejumlah tuntutan, termasuk menolak UU Cipta Kerja dan RUU HIP untuk meminta pembubaran BPIP. Novel Bamukmin bahkan mengatakan pihaknya akan “mengepung istana” dengan menyatakan bahwa “pantang pulang sebelum UU Ciptaker tumbang”.