Undang-Undang Meterai (RUU) disahkan menjadi undang-undang (RUU) oleh DPR RI kemarin, Selasa (29.9). Dalam undang-undang baru tarif pajak materai Rp 3.000 dan Rp.6.000 dihapus dan tarif seragam dibuat Rp. 10.000.
1. 20 tahun tidak mengalami kenaikan
Direktur Jenderal Pajak (Kemenkeu) Departemen Keuangan, Suryo Utomo, mengumumkan salah satu alasan pemerintah menaikkan tarif materai karena belum naik dalam 20 tahun.
Ketika undang-undang materai pertama disahkan pada tahun 1985, tarif yang berlaku adalah Rp 500 dan Rp 1.000. Kemudian pada tahun 2000 atau 15 tahun setelah itu hanya naik menjadi Rp. 3.000 dan Rp.6.000.
“Jadi setelah itu Rp 500 berubah menjadi Rp 3.000 dan Rp 1.000 menjadi Rp 6.000. Dan itu sudah berlaku sejak tahun 2000. Jadi sudah 20 tahun lalu. Kenapa tidak dinaikkan? Karena UU No 13 tahun 1985 mengatur itu kenaikan maksimalnya enam kali lipat. Jadi Rp 500 menjadi Rp 3.000, lalu Rp 1.000 menjadi Rp 6.000, ”kata Suryo dalam virtual briefing Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rabu (30/9/2020).
2. Lebih murah dari Korea Selatan-Singapura
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, tarif bea meterai Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Korea Selatan (KorSel).
“Dan dibandingkan dengan negara lain, struktur tarif bea materai kita relatif sederhana dan lebih ringan. Dibandingkan Korea Selatan, tarifnya antara 100 hingga 350.000 KRW. Itu sekitar 130.000 hingga Rp 4,5 juta ” ujarnya.
Ia melanjutkan, jika melihat persentase nominal transaksi terkecil dalam dokumen materai, Indonesia juga lebih rendah dibandingkan Singapura setelah Australia.
“Dibandingkan nilai nominal transaksi terendah Rp 5.000 ini 0,2%. Ini masih lebih rendah dibandingkan di negara lain seperti Singapura yang memungut pajak meterai, dan berada di kisaran 1-2%. Negara lain juga menggunakan rata-rata tersebut. Persentase. Misalnya Australia 5,75% dan lain-lain, ”jelas Yustinus.
3. bisa buat dokumen elektronik
Yustinus mengatakan dengan adanya undang-undang meterai baru ini, penggunaannya juga akan meningkat. Nanti meterai ini juga akan tersedia dalam bentuk digital atau elektronik yang bisa digunakan dalam dokumen elektronik.
Kehadiran segel elektronik ini diharapkan dapat membatasi dokumen elektronik yang memiliki nominal transaksi dan harus bercap pos.
“Banyak transaksi yang belum ter-capture dalam perkembangan teknologi. Ini untuk menghindari ketimpangan, atau justru tidak adanya equal treatment bagi dokumen fisik yang selama ini patuh bea meterai, yang dokumen elektronik. Ini menjadi seolah-olah tidak dikenakan bea meterai,” tuturnya.
4. Cara mendapatkan segel elektronik Sama seperti membeli pulsa
Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi Departemen Keuangan Iwan Djuniardi mengatakan membeli segel elektronik (e-seal) seperti membeli pulsa.
“E-Seals itu seperti impuls. Jadi ada generator kode yang dibuat oleh suatu sistem. Sekarang generator kode itu didistribusikan melalui penyaluran. Generator kode itu diisi dengan semacam dompet yang berisi nilai total dari cap yang telah dibayarkan. “kata Ivan.
Sistem distribusi dan pembayaran masih digarap Kementerian Keuangan. Semoga segel elektronik (e-seal) sudah bisa dibeli umum pada 1 Januari 2021.
5. Nasib segel lama pada tahun 2021
Pada tahun 2021 tidak semua pajak meterai Rp 3.000 dan Rp6.000 dihapuskan atau tidak sah. Pasalnya, pemerintah akan memberlakukan masa transisi dari pajak meterai lama ke baru tahun depan.
Masa transisi meterai dari lama ke baru hanya 1 tahun pada tahun 2021. Jika masyarakat membutuhkan materai pada tahun 2021 harus membubuhkan 2 materai, minimal Rp3.000 dan Rp6.000 atau Rp6.000 dan Rp6.000.
“Kalau ada stok, maka meterai Rp 6.000 dan Rp 3.000 bisa ditempel sekali. Jadi bayarnya cuma Rp 9.000. Kalau nggak punya stok meterai Rp 3.000, berarti tempel meterai Rp 6.000 dua lembar atau totalnya Rp 12.000,” tutup Suryo.
Kata Kunci Popularmaterai 10000,materai 10000 png